Kamis, 12 Mei 2011

Kisah Nyata soarang Jurnalis

 Pengalaman di daerah rawan konflik Atambua 

Pada 6 September 2000, tiga staf Kantor Perwakilan UNHCR di Atambua dibunuh sekelompok pengungsi Timor Timur pro-integrasi secara sangat mengenaskan. Setelah mereka membunuh, tiga jenasah itu dibakar di pekarangan Kantor perwakilan tersebut.
Saya menyaksikan betapa mengerikan proses pembakaran mayat-mayat itu. Walaupun masih menggelepar, tapi api terus membakar tubuh tiga korban keganasan para milisi itu. Beberapa staf UNHCR terpaksa melarikan diri dan bersembunyi di rumah kediaman Uskup Atambua Mgr Anton Pain Ratu,SVD yang berjarak sekitar 600 meter dari kantor UNHCR tersebut.
http://dartcenter.org/content/suka-dan-duka-menjadi-wartawan-di-perbatasan-indonesia-dan-timor-leste
Salah seorang milisi yang memegang senjata api dengan sangat ganas secara mendadak menghadangku ketika sedang berjalan dari kediaman Uskup Atambua menuju kantor perwakilan UNHCR yang sedang terbakar. Milisi itu mengancam akan menghabisi nyawaku jika tidak memberitahu keberadaan Kepala Perwakilan UNHCR asal Malaysia itu.    
Dengan penuh ketakutan saya memeluknya dan berkata:”Yang menjadi korban pengungsian ini bukan hanya kamu tetapi juga saya. Saya pun kehilangan segala-galannya di Timor Timur kecuali istri dan anakku yang masih hidup ketika harus mengungsi dari Timor Timur. Dan yang salah bukannya Kepala Perwakilan UNHCR itu. Dia hanya melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Jika kamu marah, jangan tumpahkan kemarahan itu kepada saya sebagai wartawan dan petugas UNHCR itu. Kini kita semua adalah korban,”.
Mendengar apa yang saya katakan itu, milisi yang sedang beringas itu kembali memeluk diriku dan menangis karena dia mengira tragedy Timor Timur yang disusul pengungsiannya ke Timor Barat disebabkan oleh UNHCR yang nota bene ketika itu banyak mempekerjakan orang-orang dari Barat. Milisi itu  menuding lepasnya Timor Timur dari Indonesia  akibat permainan politik Bangsa Barat. Menurut milisi itu, akibat permainan politik Bangsa Barat, dirinya bersama keluarga harus mengungsi dan kehilangan harta benda di Timor Timur. Dia sangat trauma dan membenci siapa saja yang berkulit putih berasal dari Barat.
Setelah insiden di Kantor Perwakilan UNHCR Atambua, masih begitu banyak insiden kemanusiaan yang terjadi di berbagai kamp pengungsian yang dibangun di hampir seluruh wilayah Kabupaten Belu, perbatasan dengan Timor Leste. Insiden pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),baik dilakukan oleh milisi, oknum tertentu maupun kekerasan dalam rumah tangga para pengungsi yang hingga hari ini tetap bertahan tinggal di daerah perbatasan.
Saya mengalami dilema dalam menjalankan tugas jurnalistik yakni  antara harus memberitakan semua pelanggaran HAM itu secara benar, adil dan transparan atau memikul akibat/resiko dari pemberitaan tersebut antara lain: mungkin diriku menjadi korban atau istri dan anakku menjadi korban kekerasan.
Banyak contoh kekerasan dan pengalaman traumatic bekeja di daerah rawan konflik yang jika diungkapkan hari ini,  tentu akan membawa  resiko kemanusiaan yang yang sangat krusial yang dapat bermuara pada kematian yang sangat tragis.
Untuk menceriterakan hal ini, saya membutuhkan waktu khusus. Kali ini, saya belum dapat mengungkapkan semua pengalaman traumatic di daerah perbatasan  secara transparan karena “saya masih menjalani kehidupan bersama keluarga di wilayah rawan konflik itu”.  “Aku,istri dan anakku masih ada, hari ini dan di sini!” Aku masih mempunyai anak yang dapat melanjutkan semangat dan karya ayahnya.
Mungkin, saya  masih  bisa cukup  berani menceriterakan pengalaman kekerasan dan traumatic ketika  bertugas di Timor Leste pada beberapa tahun yang silam (1992-1999) karena semua itu sudah merupakan “masa lalu” dan telah menjadi sebuah “sejarah kehidupan” yang tinggal dibukukan atau dibuatkan  film untuk ditayangkan kepada generasi mendatang.
Bagiku, resiko mengisahkan sejarah kehidupan masa lalu, tentu lebih kecil jika dibandingkan dengan  membuka aib kehidupan  hari ini di sebuah daerah  rawan konfilk ketika semua orang masih menjadi “saksi bisu sebuah drama  kehidupan anak manusia”  dan  masih menjadi “kaum periferi yang tak bersuara”.
Nah,sampai di sini dulu kisah kehidupanku. Sampai jumpa di lain kesempatan.
Semoga Tuhan masih mengaruniakan RAKHMAT KEHIDUPAN  bagi kita semua untuk bersamaNya  “meluruskan jalan yang bengkok”.
Bagaimanapun juga, dalam iman yang teguh, kita percaya bahwa Tuhan, Pemberi dan Penyelenggara kehidupan,  tetap setia menulis lurus  di atas garis kehidupan yang bengkok.
“ALLAH yang telah memulai karyaNya yang agung di dalam diri kita, akan meneruskan dan menyelesaikannya juga”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar